Tradisi Semiotika Dikaitkan dengan Cultural Studies, feminisme dan Identitas (Part 2)

ISU-ISU KOMUNIKASI
Tradisi Semiotika Dikaitkan dengan Cultural Studies dan Identitas
OLEH : Siti Noer Tyas Tuti     135120218113004

Dosen Pengampu : Nisa Alfira, S.I.Kom., MA

Cultural Studies

Cultural studies merupakan sebuah perspektif yang berangkat dari pemikiran atau mazhab Frankfurt School. Pemikiran-pemikiran kritis dari para ahli tentang studi budaya. Namun dalam implementasinya, cultural studies lebih banyak mengkritisi kajian-kajian komunikasi seperti identitas, gender, budaya populer, post colonial, dan sub culture (Prasetya, 2015). Cultural studies merupakan suatu pembentukan wacana, yaitu kluster (atau bangunan) gagasan-gagasan, citra-citra dan praktik-praktik yang menyediakan cara-cara untuk membicarakan topik, aktivitas sosial tertentu atau arena institusional dalam masyarakat (Barker, 2012).

Jadi dapat dikatakan bahwa Cultural Studies merupakan kajian budaya yang terkait atau berhubungan  dengan ideologi, politik yang berkaitan dengan kekuasaan, kelas, gender dan etnisitas yang di dalamnya mencakup kelompok usia, kecacatan dan lain sebagainya. Cultural Studies merupakan kajian dibidang keilmuan yang bisa dibilang tidak memiliki batasan wilayah, karena Cultural studies mengambil teori-teori dari ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, hukum dan lain sebagainya. Dalam CS tidak mempunyai teori khusus yang digunakan untuk mengkaji permasalahan di dalamnya. Namun dalam CS segala sesuatu dalam kehidupan sosial di masyarakat dapat menjadi kajian budaya, tergantung melihat suatu fenomena dari sudut pandang apa dan bagaimana.

Seiring berkembangnya jaman, penelitian-penelitian dalam CS juga mengalami perkembangan. Cultural Studies dalam mengkaji atau meneliti sebuah fenomena akan mendekonstruksikan fenomena tersebut berdasarkan latar belakang baik dari segi sosial, budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Cultural Studies bertujuan meneliti/mengkaji berbagai kebudayaan dan praktik budaya serta kaitannya dengan kekuasaan (Fatoni,2010). Cultural Studies memberikan perhatiannya pada bagaimana budaya dipengaruhi oleh berbagai kelompok dominan dan berkuasa (Morissan, 2013, h. 535). Dapat diartikan bahwa CS berusaha mengungkapkan dan mendekonstruksikan tentang kekuasaan dan bagaimana kekuasaan tersebut mempengaruhi kebudayaan.

Semiotik


Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern ini diwarnai dengan dua nama yaitu seorang linguis berasal dari Swiss bernama Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sander Peirce (1839 – 1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotic dan telah menjadi istilah yang dominan untuk ilmu tentang tanda. F. de Saussure membagi tanda menjadi dua komponen : signifier (citra bunyi) dan signified (citra konsep) dan hubungan dari keduanya ini dinamakan arbitrer. Sekalipun hanya merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik (semiotika de Saussure) dapat berperan sebagai model untuk semiologi/semiotika. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain -lainya. Sedangkan menurut Peirce manusia berpikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi.

Terdapat sembilan macam semiotic yang kita kenal sekarang yaitu :

a.      Semiotik analitik
Semiotik yang menganalisis sistem tanda
b.      Semiotik deskriptif
Semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang.
c.      Semiotik faunal zoosemiotic
Semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda dari hewan.
d.      Semiotik kultural
Semiotik yang khusus mempelajari sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat.
e.       Semiotik naratif
Semiotik yang membahas tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan dongeng
f.        Semiotik natural
Mempelajari sistem tanda yang dihasilkan oleh alam
g.      Semiotik normatif
Membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.
h.      Semiotik sosial
Mempelajari sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik kata maupun kalimat.
i.        Semiotik struktural
Semiotik yang khusus mempelajari sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

Gender

Definisi konsep yang berkaitan dengan gender (Matsumoto, 2001) :
  1. Gender  digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan sebagai anggota spesies dari manusia, tetapi dengan penekanan pada factor sosial daripada biologisnya.
  2. Peran gender merujuk pada peran sosial, termasuk berkeluarga, pekerjaan, dan rekreasinya. Perbedaannya terletak pada frekuensinya.
  3. Keyakinan mengenai hubungan antara jenis kelamin dan variasi dari sepanjang dimensi mulai dari pandangan tradisional, laki-laki dominan atau antifemale yang terlihat menjadi pandangan modern atau egalitarian.
  4. Stereotype Gender mengacu pada ciri-ciri psikologis dan perilaku yang dipercaya mempengaruhi dengan perbedaan frekuensi menjadi 2 kelompok gender (laki-laki lebih agresif dan perempuan lebih emosional). Stereotypes menyebabkan dukungan untuk Peran Jenis kelamin tradisional dan dapat berfungsi sebagai model sosialisasi untuk anak kecil.
  5. Maskulin atau feminism mewakili tingkat pada laki-laki atau perempuan yang telah memasukkan ciri-ciri tersebut ke dalam dirinya. Mereka berpersepsi yang menganggap dalam budaya mereka seperti apakah mereka perempuan atau laki-laki.

Dalam banyak budaya tradisional, perempuan ditempatkan pada posisi ” nomor 2 “ setelah kelompok laki-laki (Idrus, 2011). Fungsi dan peran perempuan dalam masyarakat secara tidak sadar dikonstruksikan oleh budaya setempat sebagai warga negara kelas dua. Pada posisi inilah terjadi bias gender dalam masyarakat. Meski disadari bahwa ada perbedaan-perbedaan kodrati makhluk perempuan dan laki-laki secara jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam konteks budaya, peran yang diembannya diharapkan  memiliki kesetaraan dalam masyarakat. Terkait dalam kehidupan sehari hari, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang kuat dalam memosisikan peran laki-laki - perempuan. Banyaknya ketidaksetaraan ini pada akhirnya memunculkan gerakan feminism yang menggugat dominasi laki-laki atas perempuan (Idrus, 2011).

Konsep gender berbeda dengan sex, sex merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang pada akhirnya menjadikan perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan, berdasar pada jenis kelamin yang dimilikinya, sifat biologis, berlaku universal dan tidak dapat diubah. Adapun gender (Echols dan Shadily, 1976, memaknai gender sebagai jenis kelamin) adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Idrus, 2011 mengutip Faqih, 1999). Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gender adalah perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya.

Beberapa kecenderungan di masyarakat dan keluarga yang menyebabkan terjadinya gender adalah pemosisian peran anak laki-laki dan anak perempuan yang berbeda, baik dalam status, peran yang melekat ataupun hak-hak yang sebenarnya merupakan hak universal (Idrus, 2011). Pada akhirnya ada beberapa perilaku yang dilazimkan harus dimiliki oleh jenis kelamin tertentu, seperti :

1.      Agresivitas milik laki-laki
2.      Pengasuhan/Nurturance dan kepatuhan didominasi perempuan
3.      Tingkat aktivitas tinggi milik laki-laki
4.      Perempuan ditengarai memiliki tingkat perhatian yang tinggi atas relasi (hubungan) dibanding dengan laki-laki (Idrus, 2011).

Feminisme

Feminisme adalah suatu paham yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan. Artinya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam feminisme mempunyai tujuan untuk mengadakan rekonstruksi masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Terjadi ketimpangan gender yang disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga (Marzuki, 2011). Gerakan feminisme ini mengadopsi teori praxis, Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa merek merupakan kelas yang tidak diuntungkan (Marzuki,2011).

Beberapa aliran feminisme yang terkenal antara lain :
1. Feminisme liberal yang berpandangan bahwa kebebasan dan kesamaan  berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik.
2. Feminisme radikal yang menganggap bahwa perbedaan gender bisa dijelaskan melalui perbedaan biologis atau psikologis antara laki – laki dan perempuan.
3. Feminisme marxis yang menyatakan penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi.
4. Feminisme sosial menganggap bahwa konstruksi sosial sebagai sumber ketidakadilan terhadap perempuan.
5. Feminisme moderat yang menganggap bahwa kodrat perempuan dan laki – laki memang berbeda, yang harus dibuat sama adalah hak, kesempatan dan perlakuan.

Identitas

Dalam pandangan umum pengertian identitas sosial mengacu pada definisi diri seseorang dalam hubungan dengan orang lain. Secara psikologi sosial, identitas sosial memiliki konotasi lebih spesifik, yaitu, definisi diri dalam pengertian keanggotaan seseorang dalam berbagai kelompok sosial (Kumbara,2008 mengutip Kuper & Kuper, 2000: 986). Menurut G. H Mead, identitas sosial merupakan konsepsi sosial tentang diri, dalam mana individu akan menghayati ‘kediriannya dari sudut pandang kelompok sosial secara keseluruhan” dari mana ia berasal (Kumbara,2008 mengutip Kuper & Kuper, 2000:986). Menurut Eriksen (2004:156-157) identitas sosial ialah “social identification has to do with which groups a person belongs to, who he or she identities with, how people establish and maintain invisible but socially effects boundaries between us and them”.

Jadi, identitas adalah suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda selera, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial dan menandai bahwa “kita sama atau berbeda” dengan yang lain (the others). Tanda-tanda itu hendaknya tidak dimaknai sebagai sesuatu yang tergariskan secara tetap atau generis, tetapi sebagai bentuk yang dapat berubah dan diubah, serta terkait dengan berbagai konteks sosial budaya dan kepentingan. Ketika tanda-tanda itu dilekatkan pada kelompok suku bangsa tertentu, dia dinamakan identitas etnis. Dengan demikian, identitas dalam konteks ini dipahami bukan sebagai entitas tetap, melainkan sesuatu yang diciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak maju daripada sesuatu yang datang kemudian, dan sebagai deskripsi tentang diri yang diisi secara emosional dalam konteks situasi tertentu.

Penelusuran terhadap makna dan konsep identitas pun merupakan suatu usaha berkelanjutan tanpa akhir karena identitas itu bukan merupakan sesuatu entitas yang final, statis, dan succeed, melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang. Hall (1990) menyebutnya sebagai “sesuatu yang tidak pernah sempurna”, selalu dalam proses dan selalu dibangun dari dalam. Kata identitas sendiri adalah satu kata kunci yang dapat mengacu pada konotasi apa saja, seperti sosial, politik, budaya, dan sebagainya (Kumbara,2008).

Dalam pandangan umum pengertian identitas sosial mengacu pada definisi diri seseorang dalam hubungan dengan orang lain. Secara psikologi sosial, identitas sosial memiliki konotasi lebih spesifik, yaitu, definisi diri dalam pengertian keanggotaan seseorang dalam berbagai kelompok sosial (Kumbara,2008 mengutip Kuper & Kuper, 2000: 986). Menurut G. H Mead, identitas sosial merupakan konsepsi sosial tentang diri, dalam mana individu akan menghayati ‘kediriannya dari sudut pandang kelompok sosial secara keseluruhan” dari mana ia berasal (Kumbara,2008 mengutip Kuper & Kuper, 2000:986). Menurut Eriksen (2004:156-157) identitas sosial ialah “social identification has to do with which groups a person belongs to, who he or she identities with, how people establish and maintain invisible but socially effects boundaries between us and them”.

Jadi, identitas adalah suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda selera, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial dan menandai bahwa “kita sama atau berbeda” dengan yang lain (the others). Tanda-tanda itu hendaknya tidak dimaknai sebagai sesuatu yang tergariskan secara tetap atau generis, tetapi sebagai bentuk yang dapat berubah dan diubah, serta terkait dengan berbagai konteks sosial budaya dan kepentingan. Ketika tanda-tanda itu dilekatkan pada kelompok suku bangsa tertentu, dia dinamakan identitas etnis. Dengan demikian, identitas dalam konteks ini dipahami bukan sebagai entitas tetap, melainkan sesuatu yang diciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak maju daripada sesuatu yang datang kemudian, dan sebagai deskripsi tentang diri yang diisi secara emosional dalam konteks situasi tertentu.

Penelusuran terhadap makna dan konsep identitas pun merupakan suatu usaha berkelanjutan tanpa akhir karena identitas itu bukan merupakan sesuatu entitas yang final, statis, dan succeed, melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang. Hall (1990) menyebutnya sebagai “sesuatu yang tidak pernah sempurna”, selalu dalam proses dan selalu dibangun dari dalam. Kata identitas sendiri adalah satu kata kunci yang dapat mengacu pada konotasi apa saja, seperti sosial, politik, budaya, dan sebagainya (Kumbara,2008).

DAFTAR PUSTAKA


Barker, C. (2012). Culturas Studies : Theory and Practice. London: Sage Publication Ltd.
Idrus, M. (2011). Konstruksi Gender dalam Budaya.
Leiliyati, E. (n.d.). Konstruksi Identitas Perempuan dalam Majalah Cosmopolitan.
Matsumoto, D. (2001). The Handbook of Culture and Psychology. New York: Oxford University Press.
Prasetya, A. B. (2015). Cultural Studies.
Morissan.(2012).Teori Komunikassi : Individu Hingga Massa. Jakarta : Kencana
Kumbara,A A N A.(2008).Konstruksi Identitas Orang Sasak di Lombok Timur Nusa Barat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Orasi tentang Nasionalisasi Aset Bangsa

FILSAFAT DAN ETIKA KOMUNIKASI Pemikian dalam kehidupan

Aplikasi Teori Encroachment dalam Praktik dan Penelitian Public Relations