Analisis Studi Kasus Exxon Valdez Berdasarkan Teori SCCT,
Teori Situational Theory of the Public dan PR perspektif lokal
Oleh: Siti Noer Tyas Tuti (206120201111002)
Mata Kuliah: Teori Public Relations
Kecelakaan yang menimpa kapal Exxon Valdez merupakan salah satu peristiwa
besar yang menyebabkan krisis korporasi berkepanjangan Exxon Mobil pada 24
Maret 1989. Hal ini terjadi tanpa antisipasi. Kapal pengangkut minyak dari
perusahaan II menabrak terumbu karang sehingga terjadi tumpahan minyak,
tumpahannya mengandung 11 juta galon minyak di lautan Prince William Sound, di
Alaska Selatan, Amerika Serikat (AS). Ini adalah salah satu tumpahan minyak
terburuk di tanah AS. Kapal tanker raksasa yang dioperasikan oleh Exxon
Corporation ini kandas di lautan dan menyebabkan kerusakan pada sejumlah
terumbu karang. Upaya untuk menahan tumpahan minyak tidak berhasil ketika angin
dan arus laut menghamburkan minyak sejauh 100 mil dari titik asalnya. Tumpahan
minyak pada akhirnya mencemari lebih dari 700 mil garis pantai, sementara
ratusan ribu burung dan hewan dilaporkan terkena dampak parah dari bencana
tersebut. Hasil penyelidikan terungkap bahwa Kapten Joseph Hazelwood dari Exxon
Valdez dalam keadaan mabuk saat mengemudikan kapal sehingga kapal dikemudikan
oleh pihak yang tidak kompeten yang akhirnya menyebabkan kecelakaan dengan
menabrak terumbu karang. Respon perusahaan yang tidak cepat dan tepat mengakibatkan
perusahaan tersebut mengalami krisis yang berkepanjangan.
Berdasarkan studi kasus
tersebut akan dianalisa menjadi teori PR sebagai berikut:
Kriyantono (2017, h. 193) menyebutkan bahwa terdapat tiga variabel dalam teori Situasional Crisis Communication (SCCT) yaitu penanggung jawab krisis pertama, sejarah krisis, dan reputasi sebelumnya. Apabila dilihat dalam kasus kapal Exxon dalam variable penanggung jawab krisis pertama dapat dijelaskan bahwa publik menganggap pihak Exxon yang bertanggung jawab dengan mengganti rugi dan membenahi kerusakan yang telah terjadi. Hal inidisebabkan karena adanya banyak kritik dan persepsi yang bersifat negatif masyarakat internasional terhadap Exxon. Pihak organisasi tersebut dinilai lambat dalam penanganan krisis ini. Banyak desakan warga sipil agar dilakukan pembersihan minyak secara besar, namun hal ini seolah diabaikan oleh pihak Exxon. Publik merasa dikecewakan oleh respon pihak Exxon yang tidak mengindahkan krisis karena organisasi tersebut tidak berusaha maksimal dalam membersihkan minyak yang tumpah. Lebih dari belasan ribu penduduk Alaska telah bekerjasama memulihkan lingkungan namun pihak organisasi tidak mendukung hal tersebut. Menurut Kriyantono (2017) tentang penanggung jawab krisis pertama ialah tinggi rendahnya atribusi publik pada tanggung jawab organisasi serta kepercayaannya tentang krisis yang terjadi karena perilaku organisasi. Oleh sebab itu dalam kasus kecelakaan kapal ini publik meyakini bahwa pihak Exxon lah aktor utama yang harus membenahinya. Atribusi negatif juga muncul karena permintaan maaf dari organisasi yang sangat lambat dengan memakan waktu bertahun tahun untuk merespons krisis ini, awalnya mereka berusaha defensive justru membuat publik kehilangan simpatinya.
Selanjutnya adalah variabel kedua adalah sejarah krisis, Kriyantono (2017, h. 193) yang menyebutkan abahwa organisasi memiliki pengalaman situasi krisis yang sama sebelumnya. Pada situasi ini merupakan kasus pertama yang menuyebabkan krisis oleh pihak Exxon sehingga berdampak besar terhadap reputasi perusahaan. Kemudian variabel ketiga adalah reputasi organisasi sebelumnya. Kriyantono (2017) menyebutkan bahwa hal ini merupakan persepsi publik pada organisasi dalam situasi sebelum krisis dan apakah organisasi memberi perhatian, memperlakukan publik dengan baik atau tidak. Apabila ditinjau lebih lanjut, pihak Exxon dinilai memiliki reputasi yang cukup baik sebelumnya, Exxon sering menjadi pelopor dalam perubahan iklim karena aktifnya dalam melakukan pembiayaan project internal atau universitas yang relevan dengan bidang penelitian ilmiah yang sedang berkembang. Namun, ketika krisis dari kasus tumpahan minyak karena keteledoran yang dilakukan dilautan Alaska, seketika itu pula berdampak kepada reputasi yang jatuh. Penangan yang dilakukan pun juga belum maksimal sehingga hal ini menjadi krisi yang berkepanjangan.
Kemudian ditinjau berdasarkan teori situational of the publics (STP) ini bernmanfaat untuk mengidentifikasi publik sehingga dapat membuat kategori publik berdasarkan perilaku komunikasi dari individu dan efek komunikasi yang diterima individu tersebut. Teori ini membantu public relations untuk membuat target sasaran yang lebih spesifik, sehingga pesan komunikasinya benar-benar sesuai dengan kebutuhan sasarannya itu (Kriyantono, 2017, h.154). Secara umum, teori ini mendeskripsikan sikap dan perilaku komunikasi dari publik terhadap organisasi. Teori ini dapat digunakan praktisi public relations untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan publik berdasarkan persepsi, sikap, dan perilaku publik terhadap organisasi, baik terhadap programnya, produknya, maupun ketika terjadi situasi krisis (Kriyantono, 2017, h. 154). Pada teori STP memiliki dua variabel yang dapat digunakan dalam menganalisis sebuah fenomena. Grunig (1979, dikutip di Kriyantono 2017, h.157) menyebut variabel perilaku komunikasi dan variabel persepsi terhadap situasi. Variabel perilaku komunikasi merupakan variabel dependen dan variabel persepsi adalah independen. Kasus kecelakaan Exxon terlihat pada variabel bebas yaitu persepsi situasional yang mengakibatkan banyak perilaku komunikasi dari masyarakat antara lain dengan tidak mengembalikan produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Lanjutkan survei terhadap variabel persepsi apakah krisis yang berkepanjangan ini merupakan akibat dari penanganan kasus yang menimbulkan persepsi negatif di masyarakat.
Dilanjutkan analisis berdasarkan PR perspektif lokal. Menurut jurnal Developing a
Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia (Kriyantono, Bernard,
2017) musyawarah atau mufakat termasuk kearifan lokal Indonesia yang sejalan dengan model simetris dua arah. PR memainkan dua peran secara
bersamaan: satu di sisi manajemen,yang lain di sisi publik dengan semangat
membangun kompromi. Hubungan masyarakat memfasilitasi penyebarluasan informasi
kepada publik secara langsung dan berbicara kepada manajemen tentang kebutuhan publik. Akan lebih baik apabila
pihak Exxon bermusyawarah dengan pemerintah setempat dalam upaya penaganan
kasus ini. Pimpinan perusahaan langsung terjun ke lokasi dengan melakukan
kerjasama dengan pemerintah setempat atau bisa dikatakan sebagai blususkan.
Dengan demikian, hal ini dapat menunjukkan bahwa ada tindakan yang serius yang
dilakukan oleh pihak perusahaan. Namun sebaliknya, dengan lemahnya penangan menunjukkan bahwa
pihak perusahaan terkesan menghindari tanggung jawab.
Daftar
Pustaka
Kriyantono,
R. (2017). Teori Humas Perspektif Barat
dan Lokal: Aplikasi Penelitian & Praktik (Teori Humas Perspektif Barat
& Lokal: Aplikasi untuk Riset & Praktik). Jakarta: Prenada Media.
Kriyantono,
R, Bernard. Mckenna (2017). Developing a Culturally-Relevant Public
Relations Theory for Indonesia.
Komentar
Posting Komentar